Beasiswa Kejujuran
Tralala-trilili.
Aku kayuh sepeda ini menuju sekolah. Aku tidak malu naik sepeda. Walaupun
teman-temanku tiap hari diantar-jemput dengan mobil mewah, aku tidak iri
sedikit pun kepada mereka. Aku berniat sekolah hanya semata-mata ingin
menaikkan derajat keluargaku.
Saat
aku masih duduk di bangku sekolah dasar, kehidupan tidak seperti sekarang.
Dahulu ayahku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang cukup berkembang, namun
karena serakah dan tidak pernah merasa cukup, ayah berpikiran untuk mengantongi
uang karyawan pabrik untuk mewujudkan keinginannya membangun usaha industri
mie. Namun jika kalian tahu, setelah kasus ayah terbongkar beliau masuk penjara
selama tiga tahun. Setelah keluar dari balik jeruji besi, tiap hari beliau
hanya bertemu dengan mie, saos, sambal dan sawi. Ya, ayah sekarang menjadi
seorang tukang mie ayam keliling.
Sejak
kejadian itu, ibuku terkena penyakit stoke. Beliau hanya bisa berbaring diatas
ranjang sembari menggerak–gerakkan mulutnya yang susah di gerakkan itu. Mungkin
saja ibuku minta sesuatu tetapi beliau tidak mampu mengucapkannya. Melihat ibu
seperti itu, aku hanya bisa bersabar. Tuhan tidak akan tinggal diam melihat
hambanya menangis, karena setiap tetesan air mata seseorang diperhitungkan
Tuhan.
Tuhan
memang adil. Aku bersyukur karena aku diberi kelebihan seperti ini. Aku diberi
otak yang cukup pandai dan tidak lolo, dan alhasil aku bisa masuk di sekolah
ini dengan gratis dengan perpendekan belajar atau akselerasi. Jika pemerintah
tidak menyisihkan sedikit uangnya untuk orang macam aku ini, mungkin aku dan
Rangga-Rangga yang lain hanya bisa duduk di rumah sembari memotong-motong sawi
untuk mie ayam.
Sekolah
ini bukan saja membutuhkan siswa yang pandai, tapi juga siswa yang
ber-uang.anak yang tidak begitu pandai pun bisa masuk sekolah seperti ini, asal
mampu membeli bangku disini. Aku berjalan di koridor depan kelasku. Aku
tersenyum kecil melihat teman-temanku membolak-balik buku berjudul fisika Tipe
Bilingual. Sekarang memang ada ulangan fisika di kelasku. Lima menit setelah aku
masuk ke kelasku, bel berbunyi. Pak Christoper masuk ke kelas sambil menenteng
tasnya yang berisi laptop dan satu buku yang sama dengan yang dibaca temanku di
koridor tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar